TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME



”TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME”

            Nama      :     Nabila Zulfa
            NIM       :     1113016300002
            Prodi       :     Pendidikan fisika                            
            Kelas      :     Fisika 2A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Konstruktivisme dalam pendidikan di susun untuk menjawab pertanyaan “bagaimana kita menjadi tahu apa yang kita ketahui”. jawaban pertama menyatakan bahwa pengetahuan secara utuh di pindahkan dari pikiran guru ke pikiran anak. Inilah jawaban yang umum di anut  dunia pendidikan hingga sekarang, terutama Negara kita. Guru berusaha memasukan sebanyak mungkin pengetahuan ke kepala siswa, penelliti pendididkan mencari cara terbaik melakukanya.
Jawaban kedua, yakni jawaban para konstruktivisme, menyatakan bahwa pengetahuan di bangun dalam pikiran anak. Pengetahuan model konstruktivisme inilah yang akan mendasari pembahasan selanjutnuya dengan penekanan lebih pada pendididkan sains sebab dalam bidang ini telah banyak penelitian di lakukan.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja,melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing individu. Pengetahuan juga bukan merupakan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Banyak peserta didik yang salah menangkap apa yang diberikan oleh gurunya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan sendiri oleh peserta didik tersebut. Peran guru dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan, tetapi hanya sebagai fasilitator,  yang menyediakan stimulus baik berupa strategi pembelajaran, bimbingan dan bantuan ketika peserta didik, mengalami kesulitan belajar, ataupun menyediakan media dan materi pembelajaran agar peserta didik itu merasa termotivasi, tertarik untuk belajar sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan ahirnya peserta didik tersebut mampu mengkontruksi sendiri pengetahuanya.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah Pengertian teori belajar kontruktivisme?
2.      Bagaimana menghubungkan konsep teori belajar kontruktivisme ke dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)?
3.  Bagaimana Konsep teori belajar konstruktivisme bisa diaplikasikan kedalam Pembelajaran Fisika?

C.    TUJUAN PENULISAN

1.      Mahasiswa dapat mengidentifikasi konsep teori belajar kontruktivisme (C1)
2.      Mahasiswa dapat menghubungkan teori belajar kontruktivisme kedalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). (A2)
3.      Mahasiswa dapat mengaplikasikan Konsep Teori Belajar Konstruktivisme kedalam Pembelajaran Fisika (P3)

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME
Teori belajar kontruktivisme muncul sebagai bentuk pengembangan dari teori Gesalt. Teori ini mempercayai kemampuan individu dalam membentuk dan menyusun (mengonstruksi) sendiri pengetahuannya. Hal ini disebabkan pengetahuan merupakan suatu bentuk hasil kontruktivisme atau bentukan aktif individu itu sendiri (Sugiyono dan Hariyanto,  2011: 106).
Proses penyusunan pengetahuan individu tersebut dilakukan melalui kemampuan siswa dalam berfikir dan menghadapi tantangan, menyelesaikan, dan membangun sebuah konsep pengetahuan yang utuh dari keseluruhan pengalaman nyata yang pernah dialaminya.
Kontruktivisme melandasi pemikiran bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Ia membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989 dalam Suparno, 1997: 18).
Konsep terkait denga konstruktivisme diungkapkan oleh Giambattista Vico pada tahun 1710, yang menyatakan bahwa makna “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Lebih jelasnya ia pernah mengalami sesuatu itu mungkin beberapa kali dan ada penerimaan dalam struktur kognitifnya, sebagai hasil proses berfikirnya (process of mind).
                                                            sumber:

ppguru.com/wp-content/uploads/2013/06/open-mind-process-diagram.png

Kontruktivisme mempercayai bahwa pembelajaran mengkonstruk sendiri realitasnya atau paling tidak menerjemahkannya berlandaskan persepsi tentang pengalamannya, sehingga pengetahuan individu adalah sebuah fungsi dari pengalaman sebelumnya, juga struktur mentalnya, yang kemudian digunakannya untuk menterjemahkan objek-objek serta kejadian-kejadian baru.
Asumsi-asumsi dasar dari kontruktivisme seperti yang diungkapkan oleh merril (1991) adalah sebagai berikut:
a)      Pengetahuan dikonstruksikan melalui pengalaman;
b)      Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata;
c)      Belajar adalah sebuah proses aktif dimana makna dikembangkan berlandaskan pengalaman ;
d)     Pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna, saling berbagi tentang perspektif ganda dan perubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif;
e)      Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintegrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).

Sementara itu Driver dan Bell dalam Hamzah (2008) mengemukakan karakteristik pembelajaran kontruktivisme sebagai berikut;
1)      Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
2)      Belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
3)      Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal,
4)      Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi lingkungan belajar,
5)      Kurikulum bukanlah sekadar hal yang dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi dan sumber.

Pelajar berpeluang untuk menerima pembelajaran secara kolektif dan dinamik antara hasil kelebihan teori konstrutivisme .
·         Mampu Berfikir:
Membina pengetahuan baru, berfikir untuk menyelesaikan masalah, membuat keputusan yang bijak dalam menghadapi berbagai kemungkinan dan masalah. Ini boleh dicapai melalui diskusi, memproses data, membuat interpristasi dan membuat kesimpulan.
·         Memahami:
Kefahaman mengenai sesuatu konsep lebih jelas apabila mereka terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru. Sekiranya murid sudah dapat memahami, sudah tentulah mereka akan dapat mengaplikasikan pengetahuan baru dalam kehidupan dan situasi baru.
·         Daya Mengingat:
Setelah mereka memahami suatu konsep, mereka akan dapat mengingati lebih lama kerana mereka terlibat secara aktif dalam mengaitkan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang telah ada untuk membina pengetahuan baru.
·         Berkeyakinan:
Mereka belajar secara konstruktivisme diberi peluang untuk membina sendiri kefahaman mereka tentang sesuatu. Ini akan menjadikan mereka lebih yakin kepada diri sendiri dan berani menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
·         Berkemahiran sosial:
Mereka boleh bekerjasama dengan orang lain dalam menghadapi segala masalah. Mereka akan berinteraksi bersama teman-teman mereka dan guru-guru dalam membina pengetahuan mereka sendiri.
·         Rasa kesoronokan (Keberanian):
Mereka membina sendiri pengetahuan, konsep idela secara aktif yang akhirnya menjadikan mereka lebih faham, lebih yakin dan lebih seronok untuk terus belajar sepanjang hayat walaupun menghadapi berbagai kemungkinan dan cobaan.
                                                                                sumber:
                                             http://cikgujumrah.blogspot.com


B.    TOKOH-TOKOH DALAM KONSTRUKTIVISME

1.      Jean Piaget (1896-1980)
                                                                                 sumber:



    Piaget lahir pada tahun 9 Agustus 1896 di Switzerland. Piaget memandang pengalaman sebagai factor yang sangat penting dan mendasari proses berfikir anak. Pengalaman berbeda dengan melihat yang hanya melibatkan mata, sedangkan pengamatan melinatkan seluruh indra sehingga akan menyimpan kesan lebih lama dan membekas. Menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 108), pengetahuan dalam pandangan konstruktivisme tidak dapat ditransfer begitu saja dari guru kepada siswa, tetapi siswa sendiri harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya.
     Menurut Piaget dalam Sugihartono dkk. (2007:109), pikiran manusia mempunyai struktur dan skema atau skemata (bentuk jamak dari skema) yang dikenal dengan struktur kognitif. Struktur ini membantu seseorang untuk melakukan proses adaptasi dan mengoordinasi informasi yang baru diketahui dari lingkungannya dengan skema yang telah dimiliki sehingga terbentuk skema dan skemata baru.
                        Tasker (1992:30) seperti dikutip oleh Hamzah (2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut:
1)      Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna
2)   Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna
3)  Mengaitkan antara gagasan dengan insformasi baru yang diterima



2.  Lev Vygotsky
                                                                     sumber :

                                                                http://my-ecoach.com/online/resources/734/vygotsky1.jpg




     Sebagai seorang yang dianggap pionir dalam filosofi kontruktivisme, Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi social (social cognition). Pembelajaran kognisi social meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengembangan individu. Kontruktivisme social berpandangan bahwa pembelajar merupakan individu yang unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik pula. Pembelajaran harus juga dilihat sebagai makhluk yang kompleks dan multidimensi. Konstruktivisme social tidak hanya memperkenalkan keunikan dan kompleksitas pembelajar tetapi juga secara nyata mendorong, memotivasi, dan member penghargaan kepada siswa sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.
    Dalam konteks ini Mel Siberman (1996:2) seorang konstruktivis yang mengembangkan puluhan metode pembelajaran aktif (student active learning) dengan cara memadukan filosofi konfusius (kong hu cu) tentang pembelajaran dengan asas kontruktivisme, menuliskan puisi terkait learning by teaching sebagai berikut:

“Apa yang saya dengar, saya lupa…
Apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit,
Apa yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan dengan
beberapa teman lain,  saya mulai paham,
Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan, dan lakukan,
Saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan,
Apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai..”
                       
Berkaitan dengan teori konstruktivisme dalam, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
1.         Pembelajaran Sosial (social leaning)
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman myang lebih cakap.
2.      ZPD (Zone of Proximal Development)
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD (zona perkembangan maksimal). Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya. Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
3.     Masa Magang Kognitif (Cognitif Apprenticeship)
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai.
4.      Pembelajaran Termediasi (mediated learning)
Pada prinsip ini Vygostky  menekankan pada scaffolding yaitu siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.

A.    ANALISI TEORI
Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Setiap kita akan menciptakan hukum dan model mental kita sendiri, yang kita pergunakan untuk menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman, belajar, dengan demikian, semata-mata sebagai suatu proses pengaturan model mental seseorang untuk mengakomodasi pengalaman-pengalaman baru.
        Piaget memandang pengalaman sebagai factor yang sangat penting dan mendasari proses berfikir anak. Pengalaman berbeda dengan melihat yang hanya melibatkan mata, sedangkan pengamatan melinatkan seluruh indra sehingga akan menyimpan kesan lebih lama dan membekas. Menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 108), pengetahuan dalam pandangan konstruktivisme tidak dapat ditransfer begitu saja dari guru kepada siswa, tetapi siswa sendiri harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya. Oleh sebab itu, penting melibatkan siswa secara aktif dan untuk mengalami sendiri proses pembelajaran secara nyata dan realistic terhadap objek yang sedang dipelajarinya.
      Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno, 1997:24).
Menurut konsep belajar konstruktivisme, siswa diharuskan mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sedangkan guru hanya menjadi fasilitator untuk menstimulus keinginan siswanya untuk mengetahui sesuatu. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.

B.     AYAT AL-QUR’AN TENTANG KONSTRUKTIVISME
            Teori belajar konstruktivisme merupakan teori belajar yang bertujuan untuk membangun pengetahuan secara individual dan pengetahuan tersebut dibangun melalui proses berfikir. Berikut merupakan salah satu ayat yang menuntun manusia untuk berfikir, QS. An-Nahl : 44 yaitu :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
        “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (Q.S An-Nahl : 44)

Maksud berfikir disini dapat diartikan secara luas :
·        Berfikir untuk menggali ilmu agama maupun ilmu umum
·        Berfikir dalam artian bertafakur agar kita semakin mengenali sang pencipa dan meraih keridhoannya.
                       .     Berfikir untuk membedakan mana perkara yang baik dan mana perkara yang buruk
                              sehingga tidak mencampurkan keduanya.




LATIHAN PEMBUATAN RANCANGAN PERENCANAAN PEMBELAJARAN (RPP) KONSTRUKTIVISME
Biodata Peserta Didik

Nama                : Eva Syarifatul jamilah
Nama Panggilan : Eva
TTL                   : Ciamis, 05 September 1998
Berat Badan       : 60 Kg
Tinggi Badan       : 154 cm
Sekolah              : MA Nurul Huda
Kelas                  : X

Rancangan Perencanaan Pembelajaran (RPP) Kontruktivisme
Satuan Pendidikan      : MA Nurul Huda
Kelas/Semester          : X/II
Mata Pelajaran           : Fisika
Alokasi Waktu            : 2 x 45’

A.    KOMPETENSI INTI

Menerapkan konsep kelistrikan dalam berbagai penyelesaian masalah dan berbagai produk teknologi

B.     KOMPETENSI DASAR

Memformulasikan besaran-besaran listrik rangkaian tertutup sederhana (satu loop)

C.    TUJUAN PEMBELAJARAN

a).  Perkembangan psikomotorik
1.      Siswa mampu membedakan susunan seri-pararel pada hambatan listrik (P1)
Alasan:
            Domain psikomotorik berbeda dengan menerapkan dalam domain kognitif. Dalam pengembangan kognitif menyangkut pengembangan kemampuan berfikir, sedangkan dalam domain psikomotor menurut Simpson, 1972, menyangkut keterampilan gerakan dan kordinasi secara fisik dalam menggunakan keterampilan fisik. Untuk ukuran pengembangan keterampilan fisik adalah kecepatan, jarak, prosedur atau teknik pelaksanaan.
2.      Siswa mampu membedakan GGL dan Tegangan jepit (P1)
Alasan:
            Pada periode peralihan perkembangan dari kanak-kanak ke masa dewasa awal memasuki masa ini sekitar usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Pencarian identitas kebiasaan merupakan cirri utama periode ini. Makin banyak waktu yang dihabiskan di luar keluarga atau rumah. Pikiran menjadi lebih abstrak, idealis, dan logis.
            Kategori dalam P1 adalah keterampilan menggunakan berbagai isyarat sensor untuk melakukan aktivitas motorik seperti keterampilkan menerjemahkan isyarat indra. Kategori ini sesuai dengan periode perkembangan siswa itu sendiri yang tengah memasuki masa remaja.
3.      Siswa mampu mempraktekan hukum I kirchoff dan hukum II Kirchoff dalam rangkaian (P3)
Alasan:
            Loree (1970: 75) menyatakan bahwa ada dua macam perilaku psikomotorik utama yang bersifat universal harus dikuasai oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang benda (prehension). Kedua jenis keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan yang lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekerja (working)
4.      Siswa mampu menggunakan alat ukur arus dan tegangan (P4)
Alasan:
            E.B. Hurlock (1986) mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healthy personality) ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
1)      Mampu menilai diri secara realistis
2)      Mampu menilai situasi secara realistik
3)      Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistic
4)      Menerima tanggung jawab
5)      Kemandirian (autonomi)
6)      Dapat mengontrol emosi
7)      Berorientasi tujuan
8)      Penerimaan social
9)      Memiliki filsafat hidup

b).  Perkembangan Kognitif
5.      Siswa mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besar hambatan suatu penghantar (C1)
Alasan:
            Hal ini sesuai dengan tahap operasi formal dimana siswa telah mempunyai pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk yang lebih kompleks. Flavell (1963) memberikan cirri-ciri sebagai berikut:
1)      Pada pemikiran anak remaja adalah hypothetico-deductive.
Siswa telah dapat membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problema dan membuat keputusan terhadap problema itu secara tepat.
2)      Periode propositional thinking
Remaja atau siswa telah dapat memberikan statmen atau proposisi berdasarkan pada data yang konkret. Tetapi kadang-kadang ia berhadapan dengan proporsi yang bertentangan dengan fakta.
3)      Periode combinatorial thinking
Bila remaja itu mempertimbangkan tentang pemecahan problem ia telah dapat memisahkan factor-faktor yang menyangkut dirinya dan mengombinasikan factor-faktor itu.
6.      Siswa mampu menjelaskan hukum I kirchhoff dan hukum II kirchhoff (C2)
Alasan:
            Berdasarkan perspektif pieget, kemampuan matematika para siswa cenderung membaik saat pemikiran opersional mereka mulai berkembang. Penalaran ilmiah juga cenderung membaik. Tiga kemampuan operasional formal, penalaran logis mengenai gagasan-gagasan hipotesis, penyusunan dan pengujian hipotesis, serta pemisahan dan pengendalian variable. Secara bersama-sama memungkinkan individu-individu yang telah mencapai tahap operasional formal menggunakkan suatu metode ilmiah (Scientific Method). Dalam metode ilmiah, individu dapa mengemukakan dan menguji secara sistematis sejumlah kemungkinan penjelasan terhadap suatu fenomena yang dialami. (Jeanne Ellis Ormrod, 2008, h. 43-47)
7.      Siswa mampu memperhitungkan arus dan tegangan listrik dengan menggunakan alat ukur (C3)
Alasan:
            Sesuai dengan Tahap Operational Formal (usia 11 hingga 12 atau usia dewasa) Anak-anak atau remaja yang berada dalam tahap operasional formal dapat memikirkan dan membayangkan konsep-konsep yang tidak berhubungan dengan realitas konkret. Selain itu, mereka juga mengenali kesimpulan yang logis, sekalipun kesimpulan tersebut berbeda dari kenyataan di kehidupan sehari-hari. Sejumlah kemampuan yang sangat diperlukan dalam penalaran ilmiah dan matematika yang rumit, merumuskan dan menguji sejumlah hipotesis, membedakkan dan mengontrol variable, dan penalaran yang proposional, juga muncul dalam tahap operasional formal.

c).  Perkembangan Afektif
8.      Siswa mampu menyatakan pendapat mengenai materi kelistrikan (A1)
Alasan:
            Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Aspek penilaian afektif terdiri dari:
a)      Menerima (receiving) termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, respon, kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
b)      Menanggapi (responding): reaksi yang diberikan: ketepatan reaksi, perasaan kepuasan, dsb.
c)      Menilai (evaluating): kesadaran menerima norma, sistem nilai dsb.
d)     Mengorganisasi (organization): pengembangan norma dan nilai dalam organisasi sistem nilai.
e)      Membentuk watak (Characterization): sistem nilai yang terbentuk mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku.

d).  Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
9.      Siswa mampu menghubungkan materi kelistrikan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat.
Alasan:
            Menurut Y. Singgih dan D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan social. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negative bila ikatan antar mereka sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting” dan energy mereka disalurkan kepada tujuan yang bersifat merusak.

e).  Perkembangan Konsep diri dan Emosi
10. Siswa mampu mendiskusikan peranan listrik dalam kehidupan sehari-hari
Alasan:
                        Self concept atau presepsi seseorang tentang dirinya sendiri, merupakan salah satu factor penting yang mempengaruhi tingkah laku. Combs et al., 1971. Para pendidik telah menjadi semakin sadar akan dampak self concept dan self esteem terhadap tingkah laku anak di dalam kelas dan terhadap prestasinya.
                        Self concept mengurangi atau menumbuhkan respon terhadap reaksi-reaksi dari orang lain yang berhubungan dengan keadaan fisik dan ukuran badan, dan juga aktivitas-aktivitas yang keberhasilannya sangat ditentukan oleh ukuran badan dan keterampilan fisik.
                        Kecemasan menggambarkan keadaab emosional anak yang dikaitkan dengan ketakutan. Jenis dan derajat kegelisahan berbeda-beda:
a.       Takut akan situasi sekolah secara menyeluruh
b.      Takut aspek khusus lingkungan sekolah: guru, teman, mata pelajaran, atau ulangan
c.       School phobia, menyebabkan anak menolak untuk pergi kesekolah.

f).  Perkembangan Kreativitas
11.  Siswa mampu membuat alat peraga rangkaian listrik sederhana
Alasan:
Dalam kegiatan belajar, proses berfikir kreatif dan pemecahan masalah secara kreatif dirangsang dengan mengajukan pertanyaan, untuk menemukan masalah sendiri, untuk menggunakan imajinasinya dalam mengemukakan macam-macam gagasan atau kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan. Dalam hal ini guru lebih banyak memberi umpan balik dan meminta siswa untuk menilai sendiri produk-produk kreatifitasnya.
Dalam melaksanakan pengajaran kreatif, guru harus kreatif dan memiliki semangat petualang ( Torrance, 1967). Hal ini berarti bahwa cara guru mengajar seharusnya bervariasi, dengan untuk mencoba sesuatu yang baru, tidak kaku dalam melaksanakan kurikulum atau aturan-aturan yang ada serta bersikap hangat kepada siswa. Guru dalam mengajar hendaknya menciptakan lingkungan yang merangsang belajar kreatif, terampil mengajukan dan mengundang pertanyaan, dan dapat memadukan perkembangan kognitif dan afektif.
D.    METODE PEMBELAJARAN
                        Menurut konsep belajar konstruktivisme, beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.
                        menurut Siroj ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah :
1)      Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
2)      Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
3)      Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
4)      Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
5)      Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
6)      Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.
Ke-enam cirri-ciri diatas bisa diapakai sebagai metode pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru kepada siswanya.

g).  Mengatasi lupa dan jenuh dalam belajar
                        Untuk mengurangi rasa jenuh dalam belajar, guru dituntut untuk menjadikan proses belajar-mengajar lebih menarik. Memasukan permaina (game) ke dalam proses pembelajaran dapat menghilangkan rasa jenuh pada siswa, bisa juga dengan melakukan proses belajar-mengajar di luar ruangan (outdoor). Sedangkan untuk  mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siswa. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya ingatannya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990), adalah sebagai berikut:
Ø  Over learning
     Over learning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Over learning terjadi apabila respons atau reaksi tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atas respon tersebut dengan cara di luar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk over learning, antara lain pembacaan teks Pancasila pada setiap hari Senin memungkinkan ingatan siswa terhadap teks Pancasila lebih kuat.
Ø  Extra study time
     Extra study time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi aktivitas belajar. Penambahan alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar, misalnya dari satu jam menjadi dua jam waktu belajar. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu, misalnya dari sekali sehari menjadi dua kali sehari. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dapat melindungi memori dari kelupaan.
Ø  Mnemonic device
     Mnemonic device (muslihat memori) yang sering juga hanya disebut mnemonic itu berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukkan item-item informasi ke dalam system akal siswa. Muslihat mnemonic ini banyak ragamnya, yang paling menonjol adalah sebagaimana terurai di bawah ini:
·         Singkatan, yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah yang harus diingat siswa. Pembuatan singkatan-singkatan ini seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga menarik dan memiliki kesan tersendiri.
·         System kata pasak (peg word system), yakni sejenis teknik mnemonic yang menggunakan komponen-komponen yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru. Kata komponen pasak ini dibentuk berpasangan yang memiliki kesamaan watak (baik itu warna, rasa, dan seterusnya). Misalnya langit-bumi; panas-api; merah-darah; dan seterusnya.
Ø  Clustering
     Clustering (pengelompokkan) ialah menata ulang item-item materi menjadi kelompok-kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa item-item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip. Penataan ini direkayasa sedimikian rupa dalam bentuk daftar-daftar item materi sehingga mudah untuk dihafalkan.

E.     EVALUASI
Evaluasi dalam proses pembelajaran bisa dilakukan dengan cara:
1)      Tes tertulis
2)      Tes lisan (wawancara)
3)      Membuat rangkaian listrik seri dan paralel
4)      Menerangkan kembali apa yang telah diajarkan
5)      Tes berbentuk angket.

F.     MULTIPLE INTELLIGENSI
            Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah. Jadi mudah dipahami bahwa kecerdasan adalah pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efisien. Kecerdasan merupakan suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Tingkat kecerdasan (Intelegensi) ditentukan oleh bakat bawaan berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya. Secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut :
1)      Kemampuan untuk berpikir abstrak
2)      Kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar
3)      Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.
                        Ciri-ciri keberbakatan seseorang adalah, kemampuan di atas rata-rata, kreativitas, pengikatan diri. Anak berbakat adalah mereka yang karena memiliki kemampuan yang unggul dan mampu memberikan prestasi yang tinggi. Bakat-bakat tersebut baik sebagai potensi maupun yang sudah terwujud meliputi :kemampuan intelektual umum, kemampuan berpikir kreatif-produktif, kemampuan dalam salah satu bidang seni, kemampuan psikomotor, kemampuan psikososial. Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak

                           sumber: http://shintapuspaarumsari.blogspot.com/


A.    REFERENSI
Irham, Muhammad dan Novan Ardy. 2013.Psikologi pendidikan: teori dan aplikasi dalam proses pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Piaget. (1981) The psychology of Intelligence.Totawa: Littlefield, Adam & Co.
Sadia, I.W. (1996). Pengembangan Model Belajar Konstruktivis Dalam Pembelajaran IPA di SMP. Disertasi PPS UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suparno, P. (2001). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisiu
Surya, M., (2003). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: Yayasan Bhakti Winaya.
            Suyono dan Hariyanto.2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja
                                    Rosdakarya






  

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS